ADSENSE HERE!
Pramoedya Ananta Toer, secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Ia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.
Masa
kecil
Pramoedya dilahirkan di
Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya.
Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya seorang penjual nasi. Nama asli
Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam
koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora.
Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia
menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan
"Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada
Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik
untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.
Pasca
kemerdekaan Indonesia
Pada masa kemerdekaan
Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di
Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di
sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948
dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran
budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu
organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu,
sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong
praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara
Pramoedya dan pemerintahan Soekarno.
Selama masa itu, ia
mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat
yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok.
Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang
membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia
merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan
dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan
bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan
pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya
dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di
lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.
Penahanan
dan masa setelahnya
Selain pernah ditahan
selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa
Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa
proses pengadilan.
Ia dilarang menulis
selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis
serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel
semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa,
dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada
zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh
Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan
secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar
negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam
bahasa Inggris dan Indonesia.
Pramoedya dibebaskan
dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara
hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan
rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga
1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama
kurang lebih 2 tahun.
Selama masa itu ia
menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya
sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi
berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk
dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Edisi lengkap Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Willem Samuels, diterbitkan di
Indonesia oleh Hasta Mitra bekerja sama dengan Yayasan Lontar pada 1999 dengan
judul The Mute's Soliloquy: A Memoir
Kontroversi
Ketika Pramoedya
mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra
Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak
setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra
paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" pada masa
demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan
penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.
Tetapi beberapa hari
kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya,
bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'.
Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan
pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di
pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang
dianugerahkan padanya pada tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan
hadiah yang sama.
Lubis juga mengatakan,
HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya.
Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang
lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.
Dalam berbagai
opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban
dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk
mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling
gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar
Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.
Sementara Pramoedya
sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya pada masa pra-1965 itu tidak lebih
dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal
terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah,
ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar
perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak
cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh
menjawab dan membela diri, tambahnya.
Semenjak Orde Baru
berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya
sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka
di koran.
Tetapi dalam pemaparan
pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut
Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko
Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai
tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik
dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media
disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas
yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya
akan menjadi 'bintangnya'.
Masa
tua
Pramoedya telah menulis
banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini.
Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang
ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita
penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana
mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali
ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan
politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.
Banyak dari tulisannya
menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa
secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di
mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan
kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan
Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel
Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004
Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia
menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan
dari Universitas Michigan.
Sampai akhir hayatnya
ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang
lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua
minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah
sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan
jantungnya melemah.
Pada 6 Februari 2006 di
Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku
dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk
Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan
sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku
yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.
Meninggal
Dunia
Pada 27 April 2006,
Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke
RS Saint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru,
penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi
ginjal, jantung, dan diabetes.
Pram hanya bertahan
tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski
permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29
April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih
baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan
menggerak-gerakkan tangannya.
![]() |
Makam Pramoedya Ananta Toer |
Kondisinya sempat
memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan
tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat
dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi
Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot
selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta
disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak
diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa
menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.
Setelah itu, beberapa
kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar
tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus
berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera
menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan
kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang
asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga
para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Kabar meninggalnya Pram
sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka
tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup.
Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya.
Bakar saya sekarang," katanya.
Pada 30 April 2006
pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.
Ratusan pelayat tampak
memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu,
Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana
Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad,
Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sudjatmiko, serta puluhan aktivis,
sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero
Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS,
Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan
Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau
Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.
Makam Pram pada tahun
2011
Jenazah dimandikan
pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk
dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu
Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.
Karya-Karya
> Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di
tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
> Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di
Tepi Kali Bekasi
>Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai
Pustaka, Jakarta, 1949
> Keluarga Gerilya (1950)
> Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
> Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
> Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
> Bukan Pasar Malam (1951)
> Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa
naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
> Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak
ulang dalam kumpulan cerpen
> Cerita dari Blora (1952), pemenang karya
sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
> Gulat di Jakarta (1953)
> Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
> Korupsi (1954)
> Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya
di tangan penerbit
> Cerita Dari Jakarta (1957)
> Cerita Calon Arang (1957)
> Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
> Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963;
bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
> Kumpulan Karya Kartini, yang pernah
diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
> Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan
Darat pada 13 Oktober 1965
> Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita
bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai
buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat
pada 13 Oktober 1965
> Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan
(1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
> Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia
(1963)
> Lentera (1965), tak jelas nasibnya di
tangan penerbit
> Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung,
1981
> Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa
Agung, 1981
> Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga
(1981)
> Tempo Doeloe (1982), antologi sastra
pra-Indonesia
> Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung,
1985
> Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung,
1985
> Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti,
(1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
> Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung,
1988
> Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat,
(1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
> Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995);
dilarang Jaksa Agung, 1995
> Arus Balik (1995)
> Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
> Arok Dedes (1999)
> Mangir (2000)
> Larasati (2000)
> Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)
Penghargaan
> Freedom to Write Award dari PEN American
Center, AS, 1988
> Penghargaan dari The Fund for Free
Expression, New York, AS, 1989
> Wertheim Award, "for his meritorious
services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The
Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
> Ramon Magsaysay Award, "for
Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating
with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian
people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
> UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in
recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and
non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
> Doctor of Humane Letters, "in
recognition of his remarkable imagination and distinguished literary
contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled
struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS,
1999
> Chancellor's distinguished Honor Award,
"for his outstanding literary archievements and for his contributions to
ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California,
Berkeley, AS, 1999
> Chevalier de l'Ordre des Arts et des
Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique,
Paris, Perancis, 1999
> New York Foundation for the Arts Award, New
York, AS, 2000
> Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya
Asia Fukuoka), Jepang, 2000
> The Norwegian Authors Union, 2004
> Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004
*
Biografi disusun dari
berbagai sumber. Biografi akan terus diperbaharui jika dikemudian hari menemukan informasi
baru. Jika ada kesalahan informasi ataupun penulisan silahkan tinggalkan
komentar anda.
Terimakasih. Semoga
bermanfaat.
ADSENSE HERE!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar